Umar bin
Al-Khaththab sedang duduk di bawah sebatang kurma. Surbannya dilepas,
menampakkan kepala yang rambutnya mulai tipis di beberapa bagian. Di atas
kerikil dia duduk, dengan cemeti imarat-nya
tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya para pemuka shahabat
bertukar pikiran dan membahas berbagai
persoalan. Ada anak muda yang tampak menonjol di situ, ‘Abdullah bin Abbas.
Berulangkali Umar memintanya bicara. Jika perbedaan wujud, Umar hampir selalu
bersetuju dengan Ibnu ‘Abbas. Ada juga Salman Al-Farisi yang tekun menyimak.
Ada juga Abu Dzar Al-Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.
Pembicaraan
mereka segera terjeda. Dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit
pria belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” ujar salah
satu berseru-seru, “Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini!”
Umar bangkit.
“Takutlah kalian kepada Allah”, hardiknya, “Perkara apakah ini?”
Kedua pemuda
itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah
mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku
ini telah mengaku. Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka
dakwakan kepadamu ini?”
“Benar, wahai
Amirul Mukminin!”
“Engkau tidak
menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal” ujar Umar menyelidik dengan
teliti. “Ceritakanlah kejadiannya!”
“Aku datang
dari negeri yang jauh,” kata belia itu. “Begitu sampai di kota ini kutambatkan
kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Kutinggalkan ia
sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan
sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”
“Saat aku
kembali,” lanjutnya sembari menghela nafas, “kulihat seorang lelaki tua yang
kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala
kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian
itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh
lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya.”
Umar
tercenung.
“Wahai Amirul
Mukminin,” kata salah satu dari kedua kakak beradik itu, “Tegakkanlah hukum
Allah. Kami meminta qishash atas
orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”
Umar melihat
pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah
dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun.
Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang
di air mukanya. Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda
penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi. “Bersediakah kalian,”
ucap Umar ke arah dua pemuda penuntut qishash,
“Menerima pembayaran diyat dariku
atas nama pemuda ini dan memaafkannya?”
Kedua pemuda
itu saling pandang. “Demi Allah, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “Sungguh
kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta.
Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami
bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tenteram
jika had ditegakkan!”
Umar
terhenyak. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.
“Aku ridha
hukum Allah ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,” kata si belia dengan
yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari
kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali
kepada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka.
Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka
sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.”
Umar terenyuh.
Tidak ada jalan lain, hudud harus
ditegakkan. Tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan. “Jadi
bagaimana?” tanya Umar.
“Jika engkau
mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali
ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti
kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had
untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khaththab”
“Adakah orang
yang bisa menjaminmu?”
“Aku tak
memiliki seorang pun yang ku kenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi
penjaminku. Aku tak memiliki seorang pun penjamin kecuali Allah yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Tidak! Demi
Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tidak bisa
mengizinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah
dengan nama Allah yang amat keras adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.”
“Aku percaya.
Tapi tetap harus ada manusia yang menjaminmu!”
“Aku tak
punya!”
“Wahai Amirul
Mukminin!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan
aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya.”
Inilah dia, Salman Al-Farisi yang tampil mengajukan diri.
“Engkau, hai
Salman, bersedia menjamin anak muda ini?”
“Benar. Aku
bersedia!”
“Kalian berdua
kakak beradik yang mengajukan gugatan,” panggil Umar, “Apakah kalian bersedia
menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas orang yang membunuh ayah kalian
ini? Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki
ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat.”
Kedua pemuda
itu saling pandang. “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.
------------------------------------
Waktu tiga
hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tidak
karuan. Dia mondar-mandir sementara Salman duduk khusyu’ di dekatnya. Salman
tampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu
tak datang memenuhi janji, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan
menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash.
Waktu terus
merambat. Belia itu masih belum muncul.
Kota Madinah
mulai terasa kelabu. Para shahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi
Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang
pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus
dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.
Satu demi
satu, dimulai dari Abud Darda’, beberapa shahabat mengajukan diri sebagai
pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salman
menolak. Umar pun menggeleng. Matahari semakin lingsir ke barat. Kekhawatiran
Umar semakin memuncak. Para shahabat makin kalut dan sedih.
Hanya beberapa
saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari
tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. “Maafkan aku,” ujarnya
dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur tubuh,
“Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak
sempat beristirahat. Ia kelelahan dan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan
di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris
terlambat.”
Semua yang
melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. Semua yang
mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba
merasa tak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.
“Pemuda yang
jujur,” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal
bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash?”
“Sungguh
jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak
ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada
lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin.”
“Dan kau
Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu
penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau
bisa mempercayainya?”
“Sungguh
jangan sampai orang bicara,” ujar Salman
dengan wajah teduh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan
saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi saling percaya di
antara orang-orang Muslim.”
“Allahu
Akbar!” kata Umar, “ Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati umat
ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai
pemuda, had untukmu harus kami
tegakkan!”
Pemuda itu
mengangguk pasrah.
“Kami
memutuskan...” kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “untuk
memaafkannya.” Mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang
berbudi dan tepat janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang
tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan
beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah
menghukumnya wahai Amirul Mukminin.”
“Alhamdulillah!
Alhamdulillah!” ujar Umar. Pemuda terhukum itu sujud syukur. Salman tak
ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan asma Allah, yang
kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.
“Mengapa
kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar jangan
sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan
kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati, dan kasih sayang.”
(Ditulis Kembali dari Buku "Dalam Dekapan Ukhuwah" karya Salim A. Fillah)