Senin, 30 September 2013

Komentar Orang Lain Tidak Akan Membuatmu Jadi Apa-Apa

Suatu hari, seorang ayah ingin memberikan  pelajaran hidup kepada putranya tentang bagaimana reaksi manusia terhadap perilaku manusia. Sang ayah mengajak anaknya melakukan perjalanan melintasi beberapa perkampungan dengan menaiki seekor keledai muda.

Ketika tiba di kampung pertama, orang-orang di kampung itu pun berkomentar, “Tega amat tuh bapak dan anak, keledai muda gitu dinaikin berdua. Bener-bener dah, tidak berperikehewanan”.
Sang ayah pun berkata kepada anaknya, “Kau dengar Nak komentar orang-orang itu. Biarlah ayah yang turun, kamu yang naik keledai ini”.

Akhirnya sang ayah berjalan sambil memegang tali keledai tersebut, sementara anaknya naik di atas keledai. Tidak lama kemudian, mereka melintasi sekumpulan orang. Orang-orang itu pun berkomentar, “Anak ga tahu sopan santun. Masak dia naik keledai sementara ayahnya disuruh jalan kaki”.
Sang ayah pun berkata kepada anaknya, “ Kau dengar Nak, bagaimana komentar orang-orang itu. Turunlah, biar ayah yang naik. Kamu yang jalan sambil pegang talinya”.

Akhirnya sang anak turun, dan ayahnya yang naik ke atas. Tak lama, mereka menyusuri sekelompok orang yang lain, orang-orang itu pun berkomentar, “Bapak yang ga punya belas kasihan. Tega bener. Masak bapaknya enak-enakan naik keledai, anaknya disuruh jalan kaki”.
Lagi-lagi sang ayah berkata kepada anaknya. “Kau dengar Nak, bagaimana komentar orang-orang tadi. Kalo begitu, mari kita berdua jalan kaki saja”.

Akhirnya mereka berdua berjalan sama-sama. Tak lama, mereka melewati sekelompok orang yang lain. Lagi-lagi orang-orang itu berkomentar, “Bodoh amat mereka berdua, ada keledai masak mereka malah jalan kaki”.
“Kau dengar Nak komentar orang-orang tadi?” kata sang ayah. “Kalau begitu, ayo kita gendong saja keledai ini”.

Akhirnya mereka berdua pun menggendong keledai itu sambil melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, mereka melewati sekelompok orang, dan komentar orang-orang tersebut malah makin menjadi, “Wah, bapak dan anak gila. Bingung kali tuh mereka. Ngapain keledai digendong kayak gitu”.

Akhirnya, setelah melewati berbagai kelompok orang dalam perjalanannya tersebut, sang ayah pun memberi nasihat kepada anaknya, “Nak, seperti itulah hidup. Setiap tingkah laku kita memang akan mendapat respon dari orang lain. Tetapi kalau kita selalu ingin membuat semua orang suka dengan tindakan kita, sungguh hal itu hanya akan menimbulkan penyesalan semata. Kita tidak akan pernah bisa membuat semua orang menyukai kita, dan suka dengan pilihan hidup kita. Selalu ada yang pro dan kontra. Selalu akan ada dukungan dan penolakan. Selalu ada puji dan caci. Tapi kau harus tetap bertindak. Pilihlah tindakan yang sesuai dengan nuranimu. Jadilah dirimu sendiri, jangan selalu mengikuti ucapan semua orang. Hidupmu, engkaulah sendiri yang menentukan, bukan orang lain”.

Jumat, 27 September 2013

Album Biru Rahman

              Rahman berdiri dari kursi perpustakaan. Buku foto yang baru saja dilihatnya, kembali diletakkan di rak buku yang di bagian atasnya tertulis “The Beauty in Memory”. Rahman baru saja melihat foto-foto kenangan kantor tempatnya bekerja. Senyuman dan keceriaan yang terpancar dari foto-foto tersebut, meskipun banyak yang hanya terlukis hitam dan putih, membangkitkan kenangan Rahman atas kenangan indahnya yang telah dilalui dua tahun ini. Pengalaman indah yang terlebih sering berselimut kegundahan hati, dan kerinduan bertemu dengan keluarga yang ada di Jakarta. Rahman kini memang bekerja pada perusahaan di salah satu pulau di Timur Indonesia.
            Rahman kini termenung. Hujan gerimis yang turun di luar kantor semakin menambah keguratan di dalam hatinya. Awan mendung pada senja itu seakan menampilkan isi hati yang dirasakan oleh Rahman. Saat-saat galau seperti ini, Rahman kembali duduk dan menghidupkan komputer yang memang disediakan di perpustakaan kantornya. Di layar monitor segera muncul icon jendela berwarna biru, kuning, hijau, dan merah, namun cepat berganti menjadi gambar pemandangan pantai dihiasi laut biru nan luas. Rahman segera membuka folder musik dan mengklik icon yang bertuliskan Track 2. Entah apa yang akan terbuka di layar komputernya, ah, dia seakan tak peduli. Tak lama terdengarlah suara anak-anak menyanyi, suara yang begitu polos dan bersih

Who should I give my love to, my respect and my honor to ?
Who should I pay good mind to? after Allah, and Rasulullah
Comes your mother. Who next, your mother. Who next, your mother
And than your father

Subhanallah, hati Rahman bertasbih. Ia ingat lagu ini. Ini adalah lagu ciptaan Yusuf Islam, seorang penulis lagu dan pemusik yang luar biasa. Lagu yang ia ingat berjudul your mother, yang ia dengarkan ketika setahun lalu baru menginjakkan kakinya di Kota Maluku. Lagu yang bersumber dari sabda manusia paling agung, paling pengasih, Rasulullah SAW. Lagu yang bercerita tentang kebaikan–kebaikan seorang ibu terhadap anaknya. Lagu yang menjelaskan kepada siapa kita harus benar-benar mencinta.

Cause who used to hold you and clean you and clothes you
Who used to feed you and always be with you
When you were sick, stay up all night. Holding you tight. That’s right no other.
My mother

            Rahman mendengarkan lirik tersebut dengan syahdu. Ia teringat kepada ibunya. Ibu yang sejak dulu hingga kini selalu ada untuknya, bahkan saat dirinya jauh seperti sekarang. Ketika ia merasa resah, ia pasti selalu menelepon sang ibu dan menceritakan semua masalahnya. Lalu dengan lembut dan bijak, sang ibu memberikan sentuhan pada hati Rahman sehingga ia dapat kembali kuat dan tersenyum menghadapi masalahnya. Ibu yang sepekan sekali selalu menghubunginya sekadar untuk menanyakan kabarnya. Rahman tahu bahwa sang ibu sangat memikirkan dirinya. Walau terkadang ia harus berbohong, saat ibu menelpon dan ia sedang sakit, tapi memberitahu bahwa ia sehat selalu. Tak lain agar sang ibu tidak khawatir kepada dirinya.

Who should I take good care of ? Giving all my love?
Who should I think most of ? After Allah and Rasulullah
Comes your mother. Who next, your mother. Who next, your mother
And than your father.
Cause who used to hear you before you could talk
Who used to hold you before you could walk
And when you fell who picked you up, clean your cut
No one but your mother, my mother

            Bibir Rahman mengembang, ia tersenyum. Rahman terbayang tentang keponakannya yang baru berumur 1,5 tahun bernama Akbar. Si jagoan yang masih keponakan Rahman satu-satunya. Ia terbayang tingkah pola lucu saat Akbar berjalan berjingkratan. Tingkah lucu saat Akbar berlari kemudian jatuh dan menangis. Tapi kemudian setelah ibunya mengelus kaki dan tangan Akbar, ia bangun dan berlari kembali. Ah, betapa lucunya anak itu. Lidah comel yang baru bisa mengucapkan kata ay, mah, mbah, dan aw. Nada lucu sang keponakan ketika mengucapkannya. Mungkin ia dulu juga seperti itu, walau kini ia sudah tak ingat lagi. Ia membayangkan mungkin dulu saat ia belajar berjalan, ia terjatuh, sang ibu segera berlari dan mengelus lukanya. Saat ia baru bisa menguasai bahasa bayi, mungkin sang ibu selalu setia tersenyum dan mendengarkan suaranya.

Who should I say why close to? Listen most to, never say no to
After Allah, and Rasulullah
Comes your mother. Who next, your mother. Who next, your mother
And than your father.
Cause who used to hug you and buy you new clothes
Calm your head and blow your nose
And when you cry, who wiped your tears? Knows your fears? Who really cares?
My mother.
Say Alhamdulillah. Thank you Allah. Thank you Allah, for my mother
            
               Tak terdengar lagi komputer yang bersuara. Namun tanpa terasa kini berlinang sudah kelopak mata Rahman. Air mata seakan mau tumpah, seperti hatinya yang kini telah basah. Album biru yang tersimpan dalam memori otaknya telah memaksa Rahman untuk menitikkan air mata. Ia menyesal kenapa ia belum mau berusaha memberikan yang terbaik untuk sang bunda. Ia tahu, sang ibu bahkan memberikan hidup untuknya. Saat ia tak pernah terpikir mengirimkan hadiah ulang tahun untuk sang ibu. Padahal, darimana pakaian yang ia kenakan saat ini kalau bukan dari ibundanya tersayang. Dulu, ia malah bermain-main dengan teman-temannya saat ia tahu sang ibu sedang sakit. Ia yang sering menyakiti hati ibunda. Namun, sang ibu selalu tersenyum dan bahkan selalu berusaha menghapus air matanya saat ia menangis. Air mata yang masih menggenang dalam kelopak mata Rahman, kini telah tumpah di hatinya. Ia berjanji, sudah saatnya kini ia berusaha membahagiakan ibu dan ayahnya. Jika ia diberi kesempatan berkunjung, pulang ke tempat ibu dan ayahnya, ia akan mempergunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya Walau ia tahu, apapun yang ia akan lakukan tidak akan pernah bisa membalas semua kebaikan sang ibu dan ayah.

(JF)

Sebungkus Kerupuk untuk Mereka

Ketika melihat program “orang pinggiran” yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV nasional, entah kenapa hati ini selalu bergemuruh. Program yang mengambil tema perjuangan seseorang dalam “mempertahankan” hidup dan kehidupannya, dengan cara apapun yang ia sanggup. Program yang menayangkan tentang kerasnya perjuangan dan perihnya pengorbanan yang harus ditempuh seseorang demi dirinya dan orang-orang yang ia sayangi. Namun tiada mereka berputus asa. Tiada mereka meminta-minta, kecuali kepada Yang Menguasai Segala.
Sore tadi sepulang kerja, dalam sebuah kotak kaca, aku kembali disuguhkan kisah seorang anak manusia yang harus berjuang keras dengan segala keterbatasannya. Ia adalah seorang pemuda yang (maaf) cacat secara fisik. Badannya tidak tegap seperti orang-orang kebanyakan. Tangannya hanya 1 yang dapat ia gunakan untuk bekerja, karena tangan kirinya hanya sebatas lengan. Kakinya, tidak normal. Bahkan  ia tidak bisa memakai sendal. Karena keterbatasannyalah jika ia memakai sendal, itu hanya akan merepotkannya sebab sendal itu akan selalu terlepas dari kakinya ketika ia berjalan. Bapak dan ibunya sudah sangat tua, yang hanya berprofesi sebagai penggarap ladang orang lain di kampungnya, itupun jika ada orang yang meminta. Jika sedang tidak menggarap ladang, bapaknya selalu membuat kincir angin dari kayu untuk dijual. Lalu begaimana dengan ia? Dengan keterbatasannya, ia berjuang berkeliling untuk berjualan abu gosok, yang di kampung masih digunakan sebagai pencuci piring dan perkakas dapur. Abu sisa pembakaran batu bata yang sudah tidak terpakai, yang terbuang begitu saja, justru menjadi sangat bermanfaat baginya.
Tiap hari, 1 karung  abu dari tempat pembuatan batu bata, ia angkut ke rumahnya kemudian ia bagi ke dalam plastik-plastik kecil. Setelah itu, dengan satu tangan, tanpa memakai sendal, ia mendorong gerobaknya yang membawa abu gosok dan kincir angin buatan bapaknya menyusuri jalanan tanah dan aspal yang panas karena teriknya sinar matahari. Terkadang, ia harus menempuh jarak yang sangat jauh hanya demi abu gosoknya terjual. Panas pada kakinya tidak pernah ia hiraukan, karena ia sadar jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan membantu kedua orangtuanya. Tiap hari, ia menjajakan abu gosok keliling kampung. 3 plastik abu gosok ia hargai seribu rupiah. Bahkan jika ia tawarkan ke warung, 10 bungkus ia hargai hanya 2.500 rupiah. Baginya, penghasilan yang sedikit tidak menjadi soal daripada tidak ada sama sekali. Walaupun masih di kampung, menjual abu gosok bukanlah tanpa hambatan. Banyak ibu-ibu rumah tangga yang sudah beralih menggunakan sabun colek buatan pabrik.  Namun ia sadar, dengan keterbatasannya, hanya ini pekerjaan yang sanggup ia lakukan. Lelah, ya itu adalah hal yang selalu ia rasakan ketika berkeliling. Namun semangatnya tidak pernah padam. Daya juangnya tidak pernah kendur. Baginya, panas dan lelahnya terbayar ketika hasil jualannya telah ia berikan kepada ibunya.
Di saat waktu luangnya sepulang berkeliling, ia selalu membantu sang bapak membuat kincir angin kayu. Dengan kemampuan sebisanya, ia membantu mengecat kincir angin tersebut agar menarik dan terlihat indah. Tidak lupa ketika tiba waktu sholat, ia selalu menyempatkan diri menghadap Tuhan Yang sangat Menyayanginya. Mushola kecil dekat rumahnya, menjadi saksi bisu betapa ia adalah seorang yang taat. Harapannya kepada Tuhan hanya satu, agar ia dan keluarganya selalu sehat, dan selalu diberkahi rezekinya.
Ketika dan setelah melihat acara tersebut, sering aku bertanya kepada diriku sendiri, sudahkah aku melakukan hal yang bisa membantu orang-orang seperti itu? Orang-orang di luar sana yang sangat membutuhkan bantuan, namun menahan diri mereka dari meminta-minta. Sudahkah aku memberikan sebagian hartaku untuk sekedar berbagi kepada mereka? Sudahkah aku membagi sebungkus nasi sekedar untuk mengenyangkan perut mereka? Apakah aku hanya sekedar melihat kesedihan tersebut lalu berkata, “kasihan”, tanpa ada upaya untuk memberi pada mereka? Sudahkah aku..? Ah, terkadang aku malu pada diriku sendiri
“Kasihan”. Kata yang sering aku ucapkan dari lisan ini ketika melihat orang-orang yang “kekurangan” seperti mereka. Seorang pemuda yang memiliki 2 buah kaki hanya sebatas lutut, yang biasa menjadi muadzin di masjid dekat kantorku. Seorang bapak yang biasa sholat maghrib dan isya di mesjid dekat kosanku, dengan “seragam” kumuhnya setelah pulang bekerja. Seorang kakek yang ketika berjalanpun ia sudah terbungkuk dan tertatih, namun masih mau bekerja memulung gelas platik bekas minuman, yang terkadang aku selalu bertemu dengannya tiap pulang kerja. Ah, hati kecilku, ia bergemuruh. Namun hanya kata kasihan yang ku ucapkan. Padahal, mereka mungkin tidak pantas dan tidak mau untuk dikasihani. Mungkin bagi mereka, “pengasihan” yang mereka harapkan hanya dari Tuhan, makanya mereka tetap bersemangat dan berusaha, serta menjaga diri dari meminta-minta. Merekalah yang telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya. Merekalah yang dengan segala keterbatasan, masih mau dan mampu menjemput karunia Tuhan, karena pasti mereka percaya, bahwa Tuhan tidak pernah tidur, dan selalu memperhatikan mereka.
Lalu bagaimana denganku? Dalam segala kesempurnaanku, di atas segala kelebihanku, di balik semua kemampuanku, aku masih belum membuka mata, aku masih belum membuka hati dan fikiranku. Aku masih sering menggunakan apa yang sampai kepadaku hanya untuk hal yang sebenarnya tidak aku perlukan.  Bahkan aku masih suka iri terhadap orang lain yang mendapat nikmat lebih banyak dari diriku. Ah betapa diri ini, aku malu. Saat uang makanku sehari, nominalnya bisa untuk makan selama 5 bahkan 10 hari bagi mereka. Atau, sekali aku makan, bisa untuk membeli 4 bungkus nasi, ditambah sebungkus kerupuk bagi mereka sekeluarga. Lalu apa yang sudah ku lakukan untuk mereka? Apa cukup hanya dengan “membayar” kepada para pengelola zakat dan sodaqoh tiap bulan, lalu setelah itu aku tidak peduli, dan seakan terbebas dari membantu mereka?

(JF)

Kamis, 26 September 2013

Asas Utama dalam Hidup Bersama adalah Kepercayaan

Umar bin Al-Khaththab sedang duduk di bawah sebatang kurma. Surbannya dilepas, menampakkan kepala yang rambutnya mulai tipis di beberapa bagian. Di atas kerikil dia duduk, dengan cemeti imarat-nya tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya para pemuka shahabat bertukar pikiran  dan membahas berbagai persoalan. Ada anak muda yang tampak menonjol di situ, ‘Abdullah bin Abbas. Berulangkali Umar memintanya bicara. Jika perbedaan wujud, Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu ‘Abbas. Ada juga Salman Al-Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al-Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.
Pembicaraan mereka segera terjeda. Dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” ujar salah satu berseru-seru, “Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini!”
Umar bangkit. “Takutlah kalian kepada Allah”, hardiknya, “Perkara apakah ini?”
Kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku. Umar bertanya kepada sang tertuduh. “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?”
“Benar, wahai Amirul Mukminin!”
“Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal” ujar Umar menyelidik dengan teliti. “Ceritakanlah kejadiannya!”
“Aku datang dari negeri yang jauh,” kata belia itu. “Begitu sampai di kota ini kutambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Kutinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”
“Saat aku kembali,” lanjutnya sembari menghela nafas, “kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya.”
Umar tercenung.
“Wahai Amirul Mukminin,” kata salah satu dari kedua kakak beradik itu, “Tegakkanlah hukum Allah. Kami meminta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”
Umar melihat pada belia tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang  di air mukanya. Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi. “Bersediakah kalian,” ucap Umar ke arah dua pemuda penuntut qishash, “Menerima pembayaran diyat dariku atas nama pemuda ini dan memaafkannya?”
Kedua pemuda itu saling pandang. “Demi Allah, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tenteram jika had ditegakkan!”
Umar terhenyak. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa.
“Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku, wahai Amirul Mukminin,” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali kepada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.”
Umar terenyuh. Tidak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. Tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan. “Jadi bagaimana?” tanya Umar.
“Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khaththab”
“Adakah orang yang bisa menjaminmu?”
“Aku tak memiliki seorang pun yang ku kenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memiliki seorang pun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Tidak! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tidak bisa mengizinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.”
“Aku percaya. Tapi tetap harus ada manusia yang menjaminmu!”
“Aku tak punya!”
“Wahai Amirul Mukminin!” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya.” Inilah dia, Salman Al-Farisi yang tampil mengajukan diri.
“Engkau, hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini?”
“Benar. Aku bersedia!”
“Kalian berdua kakak beradik yang mengajukan gugatan,” panggil Umar, “Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas orang yang membunuh ayah kalian ini? Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat.”
Kedua pemuda itu saling pandang. “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.
------------------------------------
Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tidak karuan. Dia mondar-mandir sementara Salman duduk khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak datang memenuhi janji, maka dirinyalah selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash.
Waktu terus merambat. Belia itu masih belum muncul.
Kota Madinah mulai terasa kelabu. Para shahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal. Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.
Satu demi satu, dimulai dari Abud Darda’, beberapa shahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salman menolak. Umar pun menggeleng. Matahari semakin lingsir ke barat. Kekhawatiran Umar semakin memuncak. Para shahabat makin kalut dan sedih.
Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang terpidana. “Maafkan aku,” ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur tubuh, “Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan dan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari sehingga nyaris terlambat.”
Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.
“Pemuda yang jujur,” ujar Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash?
“Sungguh jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin.”
“Dan kau Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?”
“Sungguh jangan sampai orang bicara,”  ujar Salman dengan wajah teduh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi saling percaya di antara orang-orang Muslim.”
“Allahu Akbar!” kata Umar, “ Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati umat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami tegakkan!”
Pemuda itu mengangguk pasrah.
“Kami memutuskan...” kata kakak beradik penggugat tiba-tiba menyeruak, “untuk memaafkannya.” Mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya wahai Amirul Mukminin.”
“Alhamdulillah! Alhamdulillah!” ujar Umar. Pemuda terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan asma Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban.

“Agar jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati, dan kasih sayang.”


(Ditulis Kembali dari Buku "Dalam Dekapan Ukhuwah" karya Salim A. Fillah)